TIDAK BOLEH MEMADARATKAN DAN
TIDAK BOLEH
DIMADARATKAN
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Kaidah Fiqih Ekonomi
Oleh
:
Fitri Sri Maryanti
Hilmi Insyanul Taufik
Ratih Sapitri
PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
SILIWANGI
2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan
kehadirat Allah swt. atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang begitu besar
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Tidak
Boleh Memadaratkan Tidak Boleh
Dimadaratkan ”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Kaidah Fiqih Ekonomi yang ditugaskan pada kelompok kami.
Penulis
berharap dengan pembuatan makalah ini dapat memberikan pengetahuan kepada
mahasiswa tentang dasar hukum dan metodologi pengembangan ekonomi Islam untuk
menambah pengetahuan dalam melakukan kegiatan ekonomi sesuai syari’at Islam,
semoga bisa bermanfaat bagi pembaca.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang konstruktif dari pembaca sangat diharapkan demi penyempurnaan dimasa
mendatang.
Tasikmalaya, Oktober 2016 Penulis
BAB I
PENDAHULU
A.
Latar Belakang
Dalam al-qawaidul fiqhiyah terdapat
lima qaidah pokok, yang harus dipelajari dan digunakan untuk dasar hidup
sehari-hari sesuai dengan kegunaan qaidah tersebut. Kelima aqidah tersebut
adalah :
a.
Segala sesuatu tergantung pada
tujuannya.
b.
Yang sudah yakin tidak dapat dihapus
dengan keraguan.
c.
Kesukaran itu menimbulkan adanya
kemunduran.
d.
Kemudhorotan itu harus di hilangkan.
e.
Adat kebiasaan dapat dijadikan
hukum.
Dari kelima kaidah pokok tersebut kami
penulis menyajikan kaidah nomor 4 “ segala kemudharatan akan dihilangkan’’
(Tidak Boleh Memadaratkan dan Tidak Boleh Dimadaratkan”.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian La Dharara Wa La Dhira ra?
2. Apa saja landasan hukum yang mendukung
kaidah La Dharara Wa La Dhira ra?
3. Apa saja pengeculian dari kaidah La Dharara Wa La Dhira ra?
4. Apa saja cabang dari kaidah La Dharara Wa La Dhira ra ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian La Dharara Wa La Dhira ra.
2. Mengetahui apa saja landasan hukum yang
mendukung kaidah La Dharara Wa La Dhira ra?
3. Mengetahui pengeculian dari kaidah La Dharara Wa La Dhira ra
4. Mengetahui cabang dari kaidah La Dharara Wa La Dhira ra.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
La Dharara Wa La Dhira ra
Islam tidak menghendaki
adanya kemudaratan bagi umatnya, maka kemudaratan itu harus dihilangkan jika
ada. Kaidah ini sering diungkapkan dalam hadits Rasulullah SAW
ﻻَﺿَﺮَﺭَ ﻭَﻻَ
ﺿِﺮَﺍﺭَ
“Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan”. (HR. Hakim
dan lainnya dari Abu Sa’id al Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)
Kata “Dharar”
menurut bahasa adalah lawan dari bermanfaat, dengan kata lain dapat
mendatangkan bahaya atau mudharat jika dikerjakan, baik dampaknya kepada
dirinya sendiri ataupun kepada orang lain.
Kata “Dhirar” menurut
bahasa adalah balasan yang sengaja dilakukan atas kemudharatan yang
diterimanya. Artinya membalas atau menimpakan kemudharatan kepada orang lain
sesuai dan sama dengan kemudharatan yang menimpanya. Sedangkan kita semua tahu
kalau mudharat itu sendiri menurut bahasa adalah kebalikan dari manfaat, atau
dapat juga dikatakan bahaya atau merugikan.
Pendapat Ulama mengenai perkataan dharar dan dhirar, yaitu
sebagai berikut:
- Al-Husaini mengartikan mengartikan al-dharar
dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada mudarat”. Dan kata
dhirar diartikan dengan ”bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang
lain (tetangga) memudaratkan”.[1]
- Ulama lain mengartikan al-dharar
dengan membuat kemudharatan dan kata dhirar diartikan membawa
kemudharatan diluar ketentuan syariah.[2]
Tujuan dari adanya syariah adalah
untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Karena maslahat membawa
manfaat dan mafsadat mengakibatkan kemudaratan. Maka terdapat kaidah :
ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻳﺰﺍﻝ
“Kemudaratan harus dihilangkan”.
a. Seperti dikatakan oleh ‘Izzuddin Ibn ‘Abd
al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka
maslahat membawa manfaat sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan.
Kemudian para ulama lebih memerinci dengan memberikan
persyaratan-persyaratan dan ukuran-ukuran tertentu apa yang disebut maslahat.[3]
Kaidah tersebut diambil
untuk merealisasikan tujuan dari maqashid al-syariah dengan menolak yang
mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
apabila Ahmad al-Nadwi menyebutkan bahwa penerapan kaidah di atas meliputi
lapangan yang luas di dalam fikih bahkan bisa jadi meliputi seluruh dari materi
fikih yang ada.[4]
Contoh-contoh di bawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas :
1.
Larangan menimbun barang-barang
kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan
bagi rakyat.
2.
Adanya berbagai macam sanksi dalam
fiqh jinayah (hukum pidana Islam) adalah
juga untuk menghilangkan kemudaratan.
3.
Aturan-aturan tentang pembelaan
diri, memerangi pemberontakan, dan aturan tentang mempertahankan harta milik.
4.
Adanya aturan al-hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan
kemudaratan bagi rakyat.
5.
Adanya lembaga-lembaga eksekutif (haiah
tanfidziyah), lembaga legislative (haiah tasyri’iyah, ahl al-halli wa
al-‘aqdi), di satu sisi lain juga berfungsi untuk menghilangkan
kemudaratan.
6.
Dalam pernikahan adanya aturan talak untuk menghilangkan kemudaratan
yang lebih besar dalam kehidupan rumah tangga.
7.
Larangan menghancurkan pohon-pohon,
membunuh anak kecil, orang tua, dan wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat
dalam peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
8.
Kewajiban berobat dan larangan
membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
9.
Larangan murtad dari agama Islam dan
larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan kemudaratan.
B. Landasan
hukum yang mendukung kaidah La Dharara Wa La Dhira ra
Ayat-ayat yang menjadi
dasar dari kaidah La Dharara Wa La Dhira ra adalah sebagai berikut :
ﻭَﻟَﺎ
ﺗُﻤْﺴِﻜُﻮﻫُﻦَّ ﺿِﺮَﺍﺭًۭﺍ ﻟِّﺘَﻌْﺘَﺪُﻭ۟...
“Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudaratan,
karena dengan demikian kamu menganiaya mereka” (Q.S Al-Baqarah: 231)
ﻭَﻟَﺎ
ﺗُﻀَﺂﺭُّﻭﻫُﻦَّ ﻟِﺘُﻀَﻴِّﻘُﻮﺍ۟ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ…
“Dan janganlah kamu memudaratkan mereka (istri) untuk
menyempitkan hati mereka” (QS. Ath-Thalaq: 6)
ﻟَﺎ
ﺗُﻀَﺂﺭَّ ﻭَٰﻟِﺪَﺓٌۢ ﺑِﻮَﻟَﺪِﻫَﺎ ﻭَﻟَﺎ ﻣَﻮْﻟُﻮﺩٌۭ ﻟَّﻪُۥ ﺑِﻮَﻟَﺪِﻩِۦ…
“Janganlah dimudaratkan seorang ibu karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya” (QS. Al-Baqarah: 233)
ﻓَﻤَﻦِ
ﭐﺿْﻄُﺮَّ ﻏَﻴْﺮَ ﺑَﺎﻍٍۢ ﻭَﻟَﺎ ﻋَﺎﺩٍۢ ﻓَﻠَﺂ ﺇِﺛْﻢَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ…
“Barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak
(pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya” (QS. Al-Baqarah: 173)
ﻟَﺎ
ﻳَﻀُﺮُّﻛُﻢ ﻣَّﻦ ﺿَﻞَّ ﺇِﺫَﺍ ﭐﻫْﺘَﺪَﻳْﺘُﻢْ...
“Tiadalah orang yang sesat itu
akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk” (QS. Al-Maidah: 105)
ﻭَﻗَﺪْ
ﻓَﺼَّﻞَ ﻟَﻜُﻢ ﻣَّﺎ ﺣَﺮَّﻡَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﺎ ﭐﺿْﻄُﺮِﺭْﺗُﻢْ ﺇِﻟَﻴْﻪِِ...
“Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (QS.
Al-An’am: 119)
Adapun hadits Nabi yang menjadi dasar dari kaidah La Dharara Wa La Dhira ra diantaranya adalah :
ﺣَﺮَّﻡَ
ﺍﻟﻠﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻤُﺆ ﻣِﻨِﻴْﻦَ ﺩَﻣَﻪُ ﻭَﻣَﺎﻟَﻪُ ﻭَﻋِﺮﺿَﻪُ ﻭَﺍَﻥْ ﻻﻳَﻈُﻦَّ ﺍﻻ
ﺍﻟﺨَﻴْﺮَ
Allah mengharamkan dari orang mukmin, darahnya,
hartanya dan kehormatannya, dan tidak menyangka kecuali dengan sangkaan yang
baik. (HR. Muslim)
ﺍِﻥَّ
ﺩِﻣَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻭَﺍَﻣْﻮَﺍﻟَﻜُﻢْ ﻭَﺍﻋﺮَﺍﺿَﻜُﻢ ﺣَﺮَﻡٌ
Sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamu
semua, dan kehormatan kamu semua adalah haram di antara kamu semua. (HR.
Muslim)
C. Pengecualian
Kaidah La Dharara Wa La Dhira ra
Kekecualian dari kaidah di atas pada
prinsipnya adalah :
1.
Apabila
menghilangkan kemudaratan mengakibatkan datangnya kemudaratan yang lain yang
sama tingkatannya, misalnya A mengambil makanan orang lain yang juga dalam
keadaan kelaparan. Hal ini tidak boleh dilakukan, meskipun si A juga dalam
keadaan kelaparan.
Dalam ilmu hukum ada contoh yang sangat terkenal yaitu apabila
seseorang di tengah lautan ingin menyelamatkan diri dari tenggelam dengan
menggunakan sebilah papan. Kemudian datang orang lain juga yang ingin
menyelamatkan diri dengan mengambil papan tersebut. Dalam hukum Islam, hal
tersebut tidak boleh dilakukan karena tingkat kemudaratannya sama yaitu
sama-sama untuk menyelamatkan diri(nyawa) atau yang dikenal dengan (hifzh al-nafs) dalam maqashid
al-syariah.
Lain halnya apabila orang yang dalam keadaan kelaparan hampir mati
mengambil harta atau buah-buahan di kebun orang lain demi untuk menyelamatkan
diri, maka hal ini dibolehkan. Karena kemudaratan membiarkan diri mati (hifh
al- nafs) lebih tinggi derajatnya dibanding kemudaratan mengambil harta
orang lain (hizh al-mal). Meskipun
sudah tentu apabila dia sudah selamat dari kematiannya, diwajibkan mengganti
harta yang telah dia makan. Mirip dengan contoh ini adalah ijtihad Umar bin
Khattab yang tidak memotong tangan pencuri yang mencuri harta orang lain pada
masa kelaparan yang sangat berat.[5]
2.
Apabila dalam
menghilangkan kemudaratan menimbulakan kemudaratan lain yang lebih besar atau
lebih tinggi tingkatannya.
Contohnya
: dilarang melarikan diri dari peperangan karena semata-mata untuk
menyelamatkan diri. Alasannya, karena kalah dalam peperangan lebih besar
mudaratnya daripada menyelamatkan diri sendiri. Selain itu, dalam peperangan,
hukum yang berlaku sesuai dengan Al-Qur’an, “fa yaqtuluuna wa yaqtuluuna” (Q.S
at- Taubah: 111) (membunuh atau dibunuh/to
kill or to be killed). Jadi terbunuh dalam peperangan adalah risiko, hanya
bagi mukmin ada nilai tambah yaitu mati syahid apabila terbunuh dalam
peperangan.
3.
Dalam menghilangkan kemudaratan, dilarang
melampaui batas dan betul-betul tidak ada jalan kecuali melakukan perbuatan
yang dilarang itulah satu-satunya jalan. Seperti menyelamatkan diri dari
kematian, terpaksa makan makanan yang haram. Itupun dilakukan hanya sekadarnya
agar tidak mati. Harus diusahakan dahulu jalan lain yang dibolehkan, kecuali
apabila tidak ada lagi alternative, maka itulah satu-satunya jalan.
Peperangan itu adalah suatu kemudaratan, Islam yang cinta damai,
tidak mau memulai perang sebelum ada yang terbunuh. Apabila telah ada yang
terbunuh, mayatnya ditampakkan kepada musuh dan dikatakan kepada mereka, “Tidak
adakah jalan yang lebih baik dari ini ?”.[6]
Ini semua adalah upaya dalam menghindari kemudaratan.
D. Cabang
Kaidah La Dharara Wa La Dhira ra
Kaidah-kaidah
yang merupakan cabang dari kaidah “al-dharar yuzal”, antara lain :
1. اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Kemudharatan itu membolehkan
hal-hal yang dilarang”
Di kalangan ulama ushul, yang dimaksud dengan keadaan dharurat yang
memenuhi syarat sebagai berikut :
Pertama, kondisi darurat itu mengancam jiwa dan/atau anggota badan. Hal
ini berdasarkan ayat al-quran surat Al-baqarah :177, Al-maidah :105, Al-anam
:145, artinya menjaga jiwa (hifzh
al-nafsh). Tampaknya, semua hal yang terlarang dalam rangka mempertahankan maqashid al-syariah termasuk kondisi
darurat dalam arti apabila hal tersebut tidak dilakukan maka maqasid al-syariah terancam, seperti
bolehnya memukul orang yang akan merebut harta milik kita.
Kedua, keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak
melampaui batas.
Ketiga, tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang
dilarang.
2. ا الضرورات تقدربقادرها
“Keadaan
darurat, ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratannya”
مَااُبِيْحَ
لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
“Apa yang
dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya”
Kedua kaidah diatas sesungguhnya
membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Seperti
telah dijelaskan bahwa melakukan yang haram karena darurat tidak boleh
melampaui batas, tapi hanya sekadarnya.
Contoh: Seorang dokter dibolehkan
melihat aurat wanita yang diobatinya sekadar yang diperlukan untuk pengobatan,
itupun apabila tidak ada dokter wanita. Orang yang kelaparan hampir mati hanya
boleh makan yang haram sekadar menyelamatkan diri dari kematian, tidak boleh
makan sampai kenyang.
3.
ا الضر ريز ال بقد ر الا مكا ن
“Kemudaratan
harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan”
Tindakan Abu Bakar dalam mengumpulkan
Al-qur’an demi terpeliharanya Al-qur’an; usaha damai agar tidak terjadi perang;
usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak kelaparan adalah diantara
contoh penerapan kaidah tersebut.
4. الضررلايزال باالضرر
“Kemudaratan
tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan lagi”
Kaidah ini semakna dengan kaidah:
الضررلايرال بمثله
“Kemudaratan
tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang sebanding”
Maksud
dari kaidah itu adalah kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan cara
melakukan kemudaratan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seorang
debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayarannya sudah habis.
Maka, dalam hal ini tidak boleh kreditor mencari barang debitor sebagai
pelunasan terhadap utangnya. Contoh lain seperti orang yang sedang kelaparan
tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan.
5. يحتمل الضررالخاص لاجل الضررالعام
“Kemudaratan
yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”
Contoh penerapan kaidah ini banyak sekali, diantaranya:
a)
Boleh melarang
tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan umum. Misalnya,
memfailitkan suatu perusaan demi menyelamatkan para nasabah.
b)
Menjual
barang-barang debitor yang sudah ditahan demi untuk membayar utangnya kepada
kreditor.
c)
Menjual
barang-barang timbunan dengan cara paksa untuk kepentingan umum.
d)
Boleh
memenjarakan orang yang menolak memberikan nafkah kepada orang-orang yang wajib
dinafkahinya.
Semakna
dengan kaidah ini adalah kaidah:
اِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ
رُوْعِيَ أَعْظَمُهَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ اَخَفَّهِمَ
“Apabila dua mafsadah
bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudaratnya dengan
mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya”
Contohnya: dibolehkan seorang dokter
mengoperasi wanita yang meninggal sedang mengandung demi menyelamatkan bayi
yang masih hidup dalam perutnya. Apabila si ibu masih hidup, maka mengoperasi
ibu yang sedang hamil boleh dilakukan meskipun mengakibatkan bayi yang dalam
perutnya meninggal. Dalam hal ini, membiarkan si ibu meninggal lebih
memudaratkan ketimbang bayi yang ada dalam perutnya .
6. الضررالاشديزال
باالضررالاخف
“Kemudaratan
yang lebih berat dihilangkan dengan kemudaratan yang lebih ringan”
Kaidah ini biasanya disingkat:
الاخذ باخف الضررين
“Mengambil yang
mudaratnya lebih ringan”
يحتمل الضرراالخاص لد فعالضررالعا
Contohnya: apabila tidak ada yang
mau mengajarkan agama, mengajarkan Al-qur’an dan Al-hadis dan ilmu yang
berdasarkan agama kecuali digaji, maka boleh menggajinya. Contoh lainnya:
sanksi-sanksi yang diterapkan yang berhubungan dengan maksiat (kejahatan) baik
berupa sanksi hudud, qisos, diat, dan tajir, semuanya berkaitan dengan kaidah tersebut.
7.
الضررلايكون
قديما
“Kemudaratan
itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi”
Maksudnya adalah kemudaratan itu
harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung dengan alasan
kemudaratan tersebut telah ada sejak dahulu. Contohnya: boleh melarang dosen
yang punya penyakit darah tinggi yang parah untuk mengajar. Larangan ini tidak
bisa dibantah dengan alasannya penyakitnya sudah lama. Contoh lainnya: air
mengalir ke jalan raya dan sudah lama terjadi, maka air tersebut harus
dialirkan ke tempat lain. Singkatnya, meskipun sudah lama terjadi, kemudaratan
harus tetap dihilangkan.
8. الحاجة تنزل منزلة الضرورة عا مة كان اوخاصة
“Kedudukan
kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus”
Al-hajah adalah suatu keadaan yang
menghendaki agar seseorang melakukan perbuatan yang tidak menurut hukum yang
seharusnya berlaku, karena adanya kesukaran dan kesulitan.
Perbedaan antara Al-dharurat
dan Al-hajah adalah: pertama, didalam kondisi Al-dharurat, ada bahaya yang muncul.
Sedangkan dalam kondisi Al-hajah,
yang ada hanyalah kesulitan dan kesukaran dalam pelaksanaan hukum. Kedua, didalam Al-dharurat, yang dilanggar perbuatan yang haram Lidzatihi seperti makan daging babi.
Sedangkan dalam Al-hajah, yang dilanggar
adalah haram Li ghyrihi. Oleh karena
itu ada dhabith yang menyebutkan
bahwa;
ما حرم لذاته ابيه للضرورة وما حرم لغير ه ا بيح للحا خة
“Apa yang
diharamkan karena zatnya, dibolehkan karena darurat dan apa yang diharamkan
karena yang lainnya dibolehkan karena adanya al-hajah”
Karena kebolehan melanggar yang haram inilah, kedudukan al-hajah ditempatkan pada posisi al-dharurat.
9. كل رخصة ا بيحت للضرورة والحاجة لم تستبح قبل وجو دها
“Setiap
keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah, tidak boleh
dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah”
Contohnya; memakan makanan yang
haram, baru bisa dilaksanakan setelah terjadinya kondisi darurat atau al-hajah,
misalnya, tidak ada makanan lain yang halal.
Dhabit diatas ditemukan dalam kitab al-isyaraf
karya qadhi abd al-wahab al-maliki. Sedangkan dalam kitab Al-Asybah wa
al-Nazhair, ada dhabit lain, yaitu:
الحا جة اذا عا مت كا الضرورة
“al-hajah
apabila bersifat umum adalah seperti kondidi darurat”
Pengertian “Ammah” atau umum adalah kebutuhan tersebut meliputi seluruh
manusia. Sedangkan pengertian ”khashshah”
adalah kebutuhan tersebut bagi suatu golongan tertentu atau daerah tertentu,
bukan untuk orang perorang.
10. كل تصر ف جر فساد اؤدفع صل حامنهي ءنه
“Setiap
tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah
dilarang”
Contohnya: menghambur hamburkan
harta atau boros tanpa ada manfaatnya. Contoh lainnya: melakukan akad riba,
perjudian, pornografi, pornoaksi, kesepakatan untuk melakukan perampokan dan lain
sebagainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kaidah-kaidah fiqhiyah
terdapat kaidah-kaidah al-Khamsah, salah satu diantaranya adalah kaidah asasi
keempat yaitu La Dharara Wa La Dhira ra yang artinya tidak boleh
memadaratkan dan tidak boleh dimadaratkan. Landasan kaidah La Dharara Wa La
Dhira ra terdapat dalam Q.S al-Baqarah : 231.
Adapun pengecualian dari kaidah La
Dharara Wa La Dhira ra ; Apabila menghilangkan kemudaratan mengakibatkan
datangnya kemudaratan yang lain yang sama tingkatannya, apabila dalam
menghilangkan kemudaratan menimbulakan kemudaratan lain yang lebih besar atau
lebih tinggi tingkatannya, dalam menghilangkan kemudaratan, dilarang melampaui
batas dan betul-betul tidak ada jalan kecuali melakukan perbuatan yang dilarang
itulah satu-satunya jalan.
Djazuli A. 2006. Kaidah-Kaidah Fikih . Jakarta. Kencana
Pramedia Group